Dibali baru-baru ini penderita rabies mati, tiga orang. mungkin jumlah yang sedikit buat orang yang tidak perduli. Dan salah satu kasus kematian adalah karena pemberian vaksin yang tidak tuntas pada penderita rabies. kalau di pikir-pikir, sayang sekali korban yang sudah mendapatkan penanganan dengan benar untuk menyelamatkan dari rabies, tapi akhirnya mati juga.
hal ini penulis belum mengetahui apa gerangan yang menyebabkan hal itu secara pasti. apakah kekurangan biaya untuk mengobati, atau apakah kurangnya ilmu pengetahuan orang-orang disekitar korban tersebut, atau apakah orang-orang yang ahli dibidang ini yang dapat memberikan informasi kepada orang-orang yang bertanggung jawab dengan kehidupan gadis kecil itu kurang lengkap. apapun alasannya, seseorang sudah menjadi korban, dan sebagai mahluk Ber-Tuhan tentunya hal ini akan di pertanggungjawabkan di dunia sana nanti.
kalau diajak berlogika, penulis yakin, bukan masalah kurang orang pinter dalam hal kesehatan hewan di Bali yang menyebabkan kejadian ini belum tuntas. selain Fakultas Kedokteran Hewan itu sendiri, disana juga terdapat beberapa LSM besar yang bergerak dalam hal kesehatan hewan yang berujung dengan kesejahteraan hewan yang tentunya diisi oleh kalangan ahli kesehatan hewan. intinya potensi SDM itu ada, apalagi hal ini di bantu dengan daerah bali yang berbentuk pulau sehingga secara geografis Rabies dari Bali dengan penanganan yang tepat dapat selesai.
kalau melihat siapa yang salah, sangat riskan, pola pandang inilah yang menjadi tonggak kelambatan atas segala urusan. dengan kata lain permasalahan ini tidak membutuhkan tangan-tangan yang fungsinya menunjuk kesalahan orang lain. tangan yang dibutuhkan di sini adalah tangan yang mampu bersinergis meminimalisir bahaya rabies dan akhirnya mewujudkan bali bebas rabies.
dalam hal ini penulis berpendapat perlu adanya ketegasan yang mungkin harus di koordinasikan dengan lembaga yang terlatih untuk hal-hal disiplin dan ketegasan. ibaratnya mendingan muka tercoreng moreng dan dihina selama satu hari dibanding hidup berpura-pura tidak malu padahal malu akibat menembaki anjing liar atau hewan-hewan yang di duga membawa rabies oleh kalangan Dunia yang perduli dengan kesejahteraan hewan namun berujung dengan kebebasan bali dari rabies dan tentunya harusa ada study bandanding yang mana paling ekonomis, strategis dan mudah diterapkan. sebaiknya hindari sikap-sikap yang dapat di analogikan sebagai sikap menghilangkan asap tanpa berani atau mau tahu dimana apinya. Matikan api dengang cara apapun agar asapnya dengan sendirinya akan menghilang.
perwujudan pemberantasan dilapang menurut penulis adalah, melakukan pembagian wilayah dan penganalisisan wilayah untuk menentukan status rabies, dan ketika sudah sampai kepada penerapan dilapang, segera memvaksin hewan-hewan yang bertuan dan memberikan tanda bukti berupa buku atau catatan dan kemudian menghubungkan tanda bukti autentik tersebut dengan hewan yang di faksin misalnya tato kuping atau penanda lain yang dimungkinkan untuk di laksanakan. bagi anjing yang semi bertuan, maksudnya anjing tersebut punya pemilik namun tidak jinak, ditidurkan aja dengan cara apapun apalagi anjing-anjing yang tidak bertuan alis liar bin galakjangan dibawa perasaan sayang, sebab pilihannya anjing atau manusia yang mati. segera diambil mayatnya untuk di bumi hanguskan di tempat yang disepakati. perilaku penyisiran ini dilakukan berulang.., sambil di monitoring. tentunya ibarat menyisir kutu, pakai sisir kutu, pada waktunya yang saya yakin dapat di hitung oleh para ahli epidemiologi veteriner akan terwujud.
Hidup Dokter Hewan,
Merdeka......hal ini penulis belum mengetahui apa gerangan yang menyebabkan hal itu secara pasti. apakah kekurangan biaya untuk mengobati, atau apakah kurangnya ilmu pengetahuan orang-orang disekitar korban tersebut, atau apakah orang-orang yang ahli dibidang ini yang dapat memberikan informasi kepada orang-orang yang bertanggung jawab dengan kehidupan gadis kecil itu kurang lengkap. apapun alasannya, seseorang sudah menjadi korban, dan sebagai mahluk Ber-Tuhan tentunya hal ini akan di pertanggungjawabkan di dunia sana nanti.
kalau diajak berlogika, penulis yakin, bukan masalah kurang orang pinter dalam hal kesehatan hewan di Bali yang menyebabkan kejadian ini belum tuntas. selain Fakultas Kedokteran Hewan itu sendiri, disana juga terdapat beberapa LSM besar yang bergerak dalam hal kesehatan hewan yang berujung dengan kesejahteraan hewan yang tentunya diisi oleh kalangan ahli kesehatan hewan. intinya potensi SDM itu ada, apalagi hal ini di bantu dengan daerah bali yang berbentuk pulau sehingga secara geografis Rabies dari Bali dengan penanganan yang tepat dapat selesai.
kalau melihat siapa yang salah, sangat riskan, pola pandang inilah yang menjadi tonggak kelambatan atas segala urusan. dengan kata lain permasalahan ini tidak membutuhkan tangan-tangan yang fungsinya menunjuk kesalahan orang lain. tangan yang dibutuhkan di sini adalah tangan yang mampu bersinergis meminimalisir bahaya rabies dan akhirnya mewujudkan bali bebas rabies.
dalam hal ini penulis berpendapat perlu adanya ketegasan yang mungkin harus di koordinasikan dengan lembaga yang terlatih untuk hal-hal disiplin dan ketegasan. ibaratnya mendingan muka tercoreng moreng dan dihina selama satu hari dibanding hidup berpura-pura tidak malu padahal malu akibat menembaki anjing liar atau hewan-hewan yang di duga membawa rabies oleh kalangan Dunia yang perduli dengan kesejahteraan hewan namun berujung dengan kebebasan bali dari rabies dan tentunya harusa ada study bandanding yang mana paling ekonomis, strategis dan mudah diterapkan. sebaiknya hindari sikap-sikap yang dapat di analogikan sebagai sikap menghilangkan asap tanpa berani atau mau tahu dimana apinya. Matikan api dengang cara apapun agar asapnya dengan sendirinya akan menghilang.
perwujudan pemberantasan dilapang menurut penulis adalah, melakukan pembagian wilayah dan penganalisisan wilayah untuk menentukan status rabies, dan ketika sudah sampai kepada penerapan dilapang, segera memvaksin hewan-hewan yang bertuan dan memberikan tanda bukti berupa buku atau catatan dan kemudian menghubungkan tanda bukti autentik tersebut dengan hewan yang di faksin misalnya tato kuping atau penanda lain yang dimungkinkan untuk di laksanakan. bagi anjing yang semi bertuan, maksudnya anjing tersebut punya pemilik namun tidak jinak, ditidurkan aja dengan cara apapun apalagi anjing-anjing yang tidak bertuan alis liar bin galakjangan dibawa perasaan sayang, sebab pilihannya anjing atau manusia yang mati. segera diambil mayatnya untuk di bumi hanguskan di tempat yang disepakati. perilaku penyisiran ini dilakukan berulang.., sambil di monitoring. tentunya ibarat menyisir kutu, pakai sisir kutu, pada waktunya yang saya yakin dapat di hitung oleh para ahli epidemiologi veteriner akan terwujud.
Hidup Dokter Hewan,